Putih Babu-babu
Genre : Personal Literature
Penulis : Neny Saputri
Penulis : Neny Saputri
Editor/Layout : Bolin
Desain Sampul : Neny Saputri & Mochamad Haririe
Penerbit : Harfeey
Tebal : 170 Hlm, A5
Harga : Rp41.000,-
Order : Judul buku_Jumlah order_Alamat lengkap ke SMS/WA 081904162092, LINE penerbitharfeey, atau di www.tokopedia.com/harfeey
Sinopsis :
Desain Sampul : Neny Saputri & Mochamad Haririe
Penerbit : Harfeey
Tebal : 170 Hlm, A5
Harga : Rp41.000,-
Order : Judul buku_Jumlah order_Alamat lengkap ke SMS/WA 081904162092, LINE penerbitharfeey, atau di www.tokopedia.com/harfeey
Sinopsis :
Sering gue teriak di tengah hujan (buatan) kayak di film-film. Wanti yang nyiram dari atas.
Terus dialog standarnya adalah, “Tuhan! Mengapa aku
berbeda?” diiringi petir yang menggelegar dari laptop Milda—adek sepupu gue,
pinjam speaker tetangga. Ending-nya
badan gue gatel semua, belakangan gue tahu kalo Wanti pake aer comberan.
Gue hidup bagai kadal betina yang keguguran.
Merasa kematian janinnya adalah akhir hidupnya. Gue juga udah keguguran. Gue
udah gugur bersama dengan impian gue. Dan kalo gue mati dalam kemiskinan karena
ortu gue, maka ortu gue adalah yang pertama kali gue adilin lewat roh gue yang
ngga tenang. Tapi kalo gue mati miskin karena keputusan gue, gue pasti mati
dalam senyuman (amit-amit, cita-cita gue mati miskin dalam senyuman?).
***
Gue menerawang ke
langit-langit. Sekarang gue nyadar kalo sebagian besar dari kita,
warga putih abu-abu, adalah babu. Ya, babu bagi lingkungan kita,
selalu diperbudak untuk terpengaruh dengan apa yang menjadi passion bagi lingkungan kita, bukan apa
yang menjadi passion kita sendiri.
Kita babu dari standarisasi orang lain, membiarkan orang lain mematok standar cantik,
eksis, atau keren lalu dengan polos mati-matian mengikutinya. Dan kita babu
bagi diri sendiri, karena kita terlalu sibuk mencari tau apa yang kita pengen,
bukan apa yang kita butuh. Sampai-sampai kita terlalu bodoh untuk tidak melihat
bahwa di sekeliling kita ada banyak banget yang nggak
seberuntung kita, yang jungkir balik berusaha dan berdoa
dengan harapan kehidupan akan tersenyum lebih ramah padanya esok dan
seterusnya, di waktu yang sama saat kita di sini sedang sibuk memerhatikan jam tangan
orang lain atau mengomentari gaya berpakaiannya.
Gue lalu tersenyum, menyeruput sesendok sup
asparagus lagi,
lalu meraih buku sketsa dan sebuah pena di dalam tas hitam yang gue taruh di kursi
kosong di sebelah
kursi tempat gue duduk. Gue mulai menulis tiga kata dengan ukuran yang besar, “PUTIH BABU-BABU”.